21 Maret 2012

Lidahku... Lukamu...


           Kita mungkin sering lupa dengan kata, kalimat atau paragraf yang telah diucapkan oleh lidah kita. Kita juga pasti lupa kepada siapa saja lidah ini telah beraksi. Kesalahan yang mungkin dilakukan oleh lidah kita pun sering terlupakan. Tidak salah bila ada yang mengatakan lidahmu adalah pedang yang dapat membunuhmu. Lidah yang tak bertulang ini sering mengungkapkan sesuka kita yang seringkali tidak kita pertimbangkan dulu baik buruknya. Sehingga kata, kalimat dan paragraf yang terurai lebih tajam dari pedang yang mampu menyayat hati saudara kita, sehingga menjadi luka yang menganga. Lidah kita lebih menuruti egoisme kita daripada hati dan logika kita. Kita lupa akan perasaan saudara kita.

Eh… jangan kekanak-kanakan ya! Emang aku hanya harus perhatiin kamu aja. Urusan aku banyak. Keluarga aja bukan, nyusahin banget.

Atau…

Ukhti ini aktivis dakwah jadi kalau mau bersikap hati-hati. Ukh nyadar gak sih semua mata itu tertuju pada kita. Kan ukhti juga tau aturan syar’i, taatilah jangan jadi pembangkang. Akan seperti apa islam kalau orang yang mau menegakkannya seperti anti.

Atau…

Loe udah salah, kagak nyadar lagi. Perbaiki kesalahan loe!!! Jangan banyak alasan. Kita kagak butuh pembelaan diri loe, yang kita butuhin pengakuan dan keinginan loe untuk jadi lebih baik.


            Itu hanya sedikit untaian kata yang sering, jarang atau sekedar pernah kita ucapkan. Sehingga menjadi hal biasa bagi diri kita. Mungkin bagi kita yang mengucapkan itu hanya hal biasa, ya yang sekedar lewat dan langsung terlupakan. Tapi bagi orang lain yang menjadi tempat kita menghembuskan kalimat-kalimat tersebut tentu berbeda. Bagi mereka hembusan kalimat-kalimat tersebut bagaikan “wedus gembel dari gunung berapi” yang membuat telinga dan hati kepanasan hingga nyaris hangus. Sehingga akan terngiang dalam beberapa waktu di telinga atau mungkin akan terus membekas dalam pikiran orang tersebut.
       Sahabat… belajarlah untuk mengeja terlebih dahulu setiap kata atau kalimat yang akan meluncur dari dalam mulut kita. Cermati dan pikirkanlah terlebih dahulu. Apakah kita menyukainya? Apakah bila kita yang mendapatkan ungkapan tersebut kita akan baik-baik saja? Apakah kita sangat senang mendengarnya? Bila jawaban kita ya… bisa jadi hati kita sedang sakit oleh berbagai penyakitnya, bahkan mungkin nyaris mati. Na’udzubillah… Astaghfirullah… Tetapi bila jawaban kita tidak! Maka janganlah kita menyampaikannya kepada orang lain. Cukup sekedar terlintas dan segera buang jauh-jauh dari pikiran kita.
          Untailah kata-kata yang indah, yang dapat menenangkan hati setiap orang yang mendengarnya, yang mampu mengeratkan tali ukhuwah diantara kita. Ungkapkanlah setiap kata yang kita pun ridho dan ikhlas mendapatkannya dari orang lain. Pikirkanlah hati saudara kita. Posisikan kita seperti mereka. Turunkanlah sedikit demi sedikit tegangan egoisme diri kita. Sehingga kita lebih bisa menggunakan hati dan logika kita dengan baik.
         Jika memang kita ingin menegur kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, tegurlah dengan cara-cara yang baik. Kita untai kalimat untuk menegur selembut mungkin, yang tidak melukai hati saudara kita namun tetap tegas. Pandanglah permasalahan tersebut dari berbagai sudut pandang, sehingga dapat menegur dengan bijak. Karena yang ingin kita dapatkan adalah solusi terbaik untuk saudara kita yang melakukan kesalahan. Kesalahan kita dalam menegur saudara kita memungkinkan timbulnya permasalahan baru, misalnya permasalahan ukhuwah antara kita dan saudara kita tersebut.

Di antara akhlak seorang mukmin adalah berbicara dengan baik, bila mendengarkan pembicaraan tekun, bila berjumpa orang dia menyambut dengan wajah ceria dan bila berjanji ditepati. (HR. Ad-Dailami) (nov-des 2010)

             



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar