Kita
mungkin sering lupa dengan kata, kalimat atau paragraf yang telah diucapkan
oleh lidah kita. Kita juga pasti lupa kepada siapa saja lidah ini telah
beraksi. Kesalahan yang mungkin dilakukan oleh lidah kita pun sering
terlupakan. Tidak salah bila ada yang mengatakan lidahmu adalah pedang yang
dapat membunuhmu. Lidah yang tak bertulang ini sering mengungkapkan sesuka kita
yang seringkali tidak kita pertimbangkan dulu baik buruknya. Sehingga kata,
kalimat dan paragraf yang terurai lebih tajam dari pedang yang mampu menyayat
hati saudara kita, sehingga menjadi luka yang menganga. Lidah kita lebih
menuruti egoisme kita daripada hati dan logika kita. Kita lupa akan perasaan
saudara kita.
Eh…
jangan kekanak-kanakan ya! Emang aku hanya harus perhatiin kamu aja. Urusan aku
banyak. Keluarga aja bukan, nyusahin banget.
Atau…
Ukhti
ini aktivis dakwah jadi kalau mau bersikap hati-hati. Ukh nyadar gak sih semua
mata itu tertuju pada kita. Kan ukhti juga tau aturan syar’i, taatilah jangan
jadi pembangkang. Akan seperti apa islam kalau orang yang mau menegakkannya
seperti anti.
Atau…
Loe
udah salah, kagak nyadar lagi. Perbaiki kesalahan loe!!! Jangan banyak alasan.
Kita kagak butuh pembelaan diri loe, yang kita butuhin pengakuan dan keinginan
loe untuk jadi lebih baik.
Itu hanya sedikit untaian kata yang
sering, jarang atau sekedar pernah kita ucapkan. Sehingga menjadi hal biasa
bagi diri kita. Mungkin bagi kita yang mengucapkan itu hanya hal biasa, ya yang
sekedar lewat dan langsung terlupakan. Tapi bagi orang lain yang menjadi tempat
kita menghembuskan kalimat-kalimat tersebut tentu berbeda. Bagi mereka hembusan
kalimat-kalimat tersebut bagaikan “wedus gembel dari gunung berapi” yang
membuat telinga dan hati kepanasan hingga nyaris hangus. Sehingga akan
terngiang dalam beberapa waktu di telinga atau mungkin akan terus membekas
dalam pikiran orang tersebut.
Sahabat… belajarlah untuk mengeja
terlebih dahulu setiap kata atau kalimat yang akan meluncur dari dalam mulut
kita. Cermati dan pikirkanlah terlebih dahulu. Apakah kita menyukainya? Apakah
bila kita yang mendapatkan ungkapan tersebut kita akan baik-baik saja? Apakah
kita sangat senang mendengarnya? Bila jawaban kita ya… bisa jadi hati kita
sedang sakit oleh berbagai penyakitnya, bahkan mungkin nyaris mati.
Na’udzubillah… Astaghfirullah… Tetapi bila jawaban kita tidak! Maka janganlah
kita menyampaikannya kepada orang lain. Cukup sekedar terlintas dan segera
buang jauh-jauh dari pikiran kita.
Untailah kata-kata yang indah, yang
dapat menenangkan hati setiap orang yang mendengarnya, yang mampu mengeratkan
tali ukhuwah diantara kita. Ungkapkanlah setiap kata yang kita pun ridho dan
ikhlas mendapatkannya dari orang lain. Pikirkanlah hati saudara kita. Posisikan
kita seperti mereka. Turunkanlah sedikit demi sedikit tegangan egoisme diri
kita. Sehingga kita lebih bisa menggunakan hati dan logika kita dengan baik.
Jika memang kita ingin menegur
kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, tegurlah dengan cara-cara yang baik.
Kita untai kalimat untuk menegur selembut mungkin, yang tidak melukai hati
saudara kita namun tetap tegas. Pandanglah permasalahan tersebut dari berbagai
sudut pandang, sehingga dapat menegur dengan bijak. Karena yang ingin kita
dapatkan adalah solusi terbaik untuk saudara kita yang melakukan kesalahan.
Kesalahan kita dalam menegur saudara kita memungkinkan timbulnya permasalahan
baru, misalnya permasalahan ukhuwah antara kita dan saudara kita tersebut.
Di
antara akhlak seorang mukmin adalah berbicara dengan baik, bila mendengarkan
pembicaraan tekun, bila berjumpa orang dia menyambut dengan wajah ceria dan
bila berjanji ditepati. (HR.
Ad-Dailami) (nov-des 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar